Siswa Belajar Bertahun-tahun, Tapi Tidak Tahu Cara Mengatur Uang: Salah Siapa?

Setiap tahun, jutaan siswa lulus dari jenjang pendidikan dasar hingga menengah dan perguruan tinggi. Mereka telah menghabiskan waktu bertahun-tahun mempelajari berbagai mata pelajaran seperti matematika, fisika, biologi, dan bahasa. slot gacor qris Namun ketika dihadapkan pada kenyataan hidup seperti mengelola keuangan pribadi, banyak yang kebingungan. Tidak sedikit yang bahkan tidak tahu cara membuat anggaran bulanan, memahami bunga pinjaman, atau mengelola utang.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius: mengapa seseorang bisa lulus sekolah tanpa pernah dibekali keterampilan dasar finansial? Apakah kurikulum yang terlalu teoritis, sistem pendidikan yang kaku, atau minimnya peran keluarga dalam literasi keuangan?

Pendidikan Formal yang Minim Konten Finansial

Salah satu alasan utama minimnya pemahaman keuangan di kalangan pelajar adalah absennya pendidikan finansial dalam kurikulum formal. Selama ini, fokus pendidikan masih berkutat pada capaian akademik dan penguasaan teori, sementara kemampuan mengelola uang dianggap bisa dipelajari secara “alami” ketika siswa sudah dewasa.

Di banyak sekolah, pelajaran ekonomi pun lebih menekankan pada konsep makro seperti inflasi, pasar bebas, dan teori ekonomi klasik, bukan pada pengelolaan uang pribadi. Padahal, topik-topik seperti membuat anggaran, menabung, investasi dasar, hingga menghindari utang konsumtif sangat relevan untuk kehidupan sehari-hari.

Peran Orang Tua yang Tidak Selalu Siap

Tidak semua orang tua memiliki literasi finansial yang memadai, apalagi mampu mengajarkannya kepada anak. Dalam banyak keluarga, urusan uang adalah hal yang tabu dibicarakan. Anak hanya tahu mereka diberi uang saku, tanpa pernah diajak berdiskusi soal bagaimana uang itu dihasilkan, dibelanjakan, atau disimpan.

Akibatnya, banyak siswa tumbuh tanpa pemahaman yang cukup tentang nilai uang dan cara mengelolanya secara bijak. Ketika dewasa dan mulai menerima penghasilan sendiri, mereka seringkali tergoda untuk konsumtif karena tidak terbiasa merencanakan penggunaan uang sejak dini.

Budaya Konsumtif dan Tekanan Sosial

Di era media sosial, gaya hidup seringkali menjadi tolok ukur keberhasilan. Generasi muda kerap terdorong untuk membeli sesuatu demi terlihat “cukup mampu” secara sosial. Tanpa pendidikan finansial yang kuat, mereka rentan terjebak dalam budaya konsumsi impulsif, berutang untuk memenuhi gaya hidup, hingga akhirnya mengalami krisis keuangan di usia muda.

Tekanan ini diperparah oleh iklan dan kemudahan akses terhadap kredit instan. Aplikasi pinjaman online dan layanan bayar kemudian (paylater) menjadi solusi jangka pendek yang menggoda, tapi berisiko besar bila tidak dikelola dengan baik.

Kurikulum Masa Depan yang Perlu Berubah

Menghadapi situasi ini, perlu adanya revisi cara pandang terhadap pendidikan. Literasi finansial bukan sekadar keterampilan tambahan, tetapi bagian dari pendidikan hidup yang esensial. Idealnya, siswa sejak usia sekolah dasar sudah diperkenalkan pada konsep sederhana seperti menyimpan uang, membedakan kebutuhan dan keinginan, serta memahami arti bekerja untuk mendapatkan penghasilan.

Beberapa negara telah mulai mengintegrasikan pendidikan keuangan dalam kurikulum dasar. Materi yang diajarkan tidak melulu soal angka, tapi juga soal perilaku, pilihan, dan konsekuensi keuangan. Pendekatan semacam ini tidak hanya memberi pengetahuan, tapi juga membentuk kebiasaan dan pola pikir jangka panjang.

Meninjau Ulang Tujuan Pendidikan

Jika tujuan utama pendidikan adalah mempersiapkan siswa menghadapi kehidupan nyata, maka aspek finansial seharusnya menjadi salah satu prioritas. Ketika lulusan sekolah tidak tahu cara membuat anggaran atau memahami cicilan, ada kegagalan sistemik yang perlu diperbaiki. Pendidikan tidak boleh hanya fokus pada aspek akademik, tapi juga membekali siswa dengan kecakapan hidup yang konkret.

Kesimpulan

Ketiadaan pemahaman finansial di kalangan pelajar bukan hanya kesalahan individu, tapi cerminan dari sistem pendidikan dan budaya yang belum memberikan ruang cukup untuk literasi keuangan. Kombinasi antara kurikulum yang tidak responsif, minimnya edukasi di rumah, serta tekanan sosial yang konsumtif menciptakan generasi yang cerdas secara akademik, tapi rapuh secara finansial. Menyadari hal ini adalah langkah awal untuk membangun sistem pendidikan yang lebih relevan dengan kebutuhan hidup nyata.